Saturday, May 7, 2016

Review Buku Bushido, The Soul of Samurai



Saya percaya, masa kecil kita akan menentukan pembentukkan karakter diri dimasa yang akan datang, teman-teman percaya? i hope so.

Hidup dalam masa kanak-kanak pada tahun 2000an tentu memiliki cita rasa tersendiri, terlebih pada sebuah tayangan hiburan oleh Jepang yang diputar disetiap sorenya, yup, apalagi kalau bukan anime! Ternyata, -bagi saya- anime sedikit banyak memberikan motivasi positif kepada diri. Tentu tidak semua anime, dan beberapa anime saja yang seperti ini. Salah satunya adalah berjudul Samurai X, dengan tokoh utama adalah Kenshin Himura.

Berbicara tentang samurai, atas kegagahan dan sikap kekesatriannya, disini saya akan sedikit mereview buku yang berjudul Bushido, The Soul of Samurai -jalan kebijaksanaan para kesatria Jepang- yang ditulis oleh Inazo Nitobe, Ph.D (Ekonom & Diplomat Jepang)

Pertama kita akan mengupas pengertian dari Bushido, bagi para samurai Bushido digunakan sebagai sistem etika, bagi negara Jepang, sikap kesatria adalah bunga yang sama aslinya seperti bunga nasional mereka, sakura. Sikap kesatria masih menjadi kekuatan dan keindahan yang hidup di antara para samurai, dan meskipun tidak dianggap sebagai bentuk yang nyata, tetapi atmosfer bushido masih sangat terasa dan berpengaruh kuat.

Di Jepang, sebagaimana juga di Eropa, saat feodalisme secara resmi diperkenalkan, kelas kesatria langsung menjadi terkenal. Mereka adalah orang-orang yang dikenal sebagai samurai, artinya hampir mirip dengan kesatria dalam bahasa Inggris kuno (knecht, knight), penjaga atau pengawal. Seorang samurai di Jepang adalah kelas masyarakat yang istimewa. Kelas ini muncul begitu saja, selama masa perang berlangsung cukup lama, dari kelompok pria paling jantan dan paling pemberani, dan selama prosesnya terjadi eliminasi, pria-pria yang lemah dan penakut tersingkir, dan hanya menyisakan pria-pria tangguh, maskulin, dengan kekuatan brutal.

3 (dari 7) Prinsip Bushido:

1. Kejujuran atau Keadilan
Kejujuran atau Keadilan ini merupakan ajaran paling meyakinkan dalam kode samurai. Tidak ada yang lebih memuakkan bagi samurai daripada tindakan curang dan kebohongan. Seorang bushido mendefinisikannya sebagai kekuatan resolusi: "Kejujuran adalah kekuatan untuk memutuskan tindakkan tertentu sesuai dengan alasan, tanpa kebimbangan.. untuk mati jika hal yang benar adalah mati, untuk menyerang jika tindakan yang benar adalah menyerang"

Pada masa saat kelicikan diandalkan untuk taktir militer dan kebohongan untuk taktik perang, sifat-sifat kejujuran dan keterusterangan menjadi permata yang bersinar paling terang dan diharga paling tinggi. Sifat kejujuran atau keadilan ini juga dapat di sebut dengan Giri (Alasan yang benar). Pada dasarnya Giri memiliki arti tidak lebih dari tanggung jawab, Giri diformulasikan dengan sebuah alasan tindakkan kenapa kita bergerak, biasanya alasan seorang bergerak adalah karena cinta, jika bukan karena cinta, maka seorang diharuskan mencari alasan untuk meyakinkan dirinya akan pentingnya bertindak benar. Itu sebabnya, memahami Giri adalah tugas yang sangat berat, seperti memaksa pemalas untuk menjalankan tugas dengan sapu lidi.

2. Keberanian, Jiwa Pemberani, dan Pembawaan Diri
Jika definisi keberanian hanyalah melakukan apa yang benar, menerjang segala jenis bahaya, mempertaruhkan diri sendiri, menerobos rahang kematian, maka keberanian atau keperkasaan itu -seperti yang disebut oleh Shakespear- adalah keperkasaan yang keliru.

Begitu juga dengan aturan kekesatriaan, kematian yang disebabkan oleh alasan konyol disebut sebagai "kematian anjing"

"Tergesa-gesa terjun ke medan pertempuran sengit dan terbunuh disana, sangatlah mudah, dan penduduk desa sekalipun bisa melakukannya. Tapi, butuh keberanian sejati untuk hidup saat ha yang benar untuk dilakukan adalah hidup, dan untuk mati saat hal yang benar untuk dilakukan adalah mati"

Keperkasaan, ketabahan, tak kenal takut adalah sifat jiwa yang paling mudah menarik pikiran para pemuda. Semua sifat itu juga dilatih melalui pelatihan dan contoh. Semuan sifat itu juga menjadi sifat yang paling populer dan bisa ditiru pemuda sejak dini. Jika ada seorang anak laki-laki menangis karena sakit, sang ibu akan menegurnya dengan cara seperti ini: "Sungguh pengecut menangisi rasa sakit yang tidak seberapa! apa yang akan kau lakukan jika lenganmu terpotong dalam pertempuran? kesalahan sebesar apa yang kau butuhkan untuk berani melakukan harakiri?"

Orang tua dengan ketegasan yang terkadang mengarah pada kekejaman,menyiapkan anak-anak mereka untuk tugas yang membangkitkan semua keberanian yang aa di dalam diri mereka. Putra seorang samurai ditinggalkan di lembah dalam yang penuh dengan kekerasan, dan harus menjalankan tugas berat. Sesekali kehabisan makanan atau kedinginan, tapi semua itu diaggap sebagia ujian ampuh untuk melatih ketahanan diri mereka.

Anak-anak sejak usia muda sudah dikirimkan ke tempat asing untuk menyampaikan pesan, dipaksa bangun sebelum matahari terbit, dan harus mengikuti kelas membaca sebelum sarapan, berjalan menghampiri guru mereka dengan bertelanjang kaki di tengah musim dingin yang menusuk, datang bersama dalam kelompok kecil melewati malam tanpa tidur, membaca secara bergantian dengan suara lantang.

Berziarah ke semua tempat yang tidak biasa -tempat eksekusi, ke kuburan, ke rumah yang diketahui dihantui makhluk hakus- enjadi aktivitas senggang favorit anak-anak muda dari para samurai. Pada masa ketika pemenggalan dilakukan di depan umum, anak lelaki kecil bukan hanya dikirim untuk menyaksikan adegan mengerikan tersebut, tapi mereka juga dipaksa untuk datang sendirian ke tempat itu pada tengah malam dan meninggalkan bukti kedatangan mereka di kepala yang terpenggal lepas dari tubuhnya.

Itu adalah sistem super-Sparta yang mungkin akan merusak dan menghancurkan secara brutal emosi lembut hati anak-anak. Berbeda dengan bushido, aspek spiritual dibuktikan dengan ketenangan-ketenangan pikiran. Ketenangan adalah keberanian yang sedang beristirahat. Itu merupakan manifestasi statis dari keberanian, sementara tindakan berani merupakan manifestasi dinamisnya.

Orang yang benar-benar pemberani adalah orang yang selalu tenang; tidak pernah terkejut, tidak ada yang bisa mengusik ketenangan jiwanya; ditengah pertempuran yang sengit, ia tetap tenang; ditengah bencana dashyat, ia menjaga pikirannya tetap jernih. Gempa bumi tidakmemmbuatnya terguncang, ia menertawai badai yang menghadang.

Kita mengaguminya sebagai orang yang benar-benar hebat, yang di tengah ancaman bahaya dan kematin, masih bisa mmepertahankan ketenangan dirinya; yang misalnya saja, bisa menulis puisi di bawah tekanan bahaya atau bersenandung di hapadan kematian. Kemampuan untuk tidak menunjukkan ketakutan dalam tulisan atau dalam suara, dianggap sebagai bentuk sempurna dari luasnya pikiran, yang meskipun ditekan atau dipadatkan, selalu ada ruang untuk sesuatu yang lain.

Itu sebabnya dalam peperangan kuno bukan sesuatu yang langka jika pihak yang berkonflik saling bertukar jawaban yang mengena atau memulai kontes retorika. Pertarungan bukan sekedar masalah kekuatan brutal, tapi juga keterlibatan intelektual.

3. Kebajikan dan Perasaan Sedih
Saat keberanian mencapai ketinggian ini, maka keberanian itu menjadi sama dengan Kebajikan, Perasaan Sedih, cinta, kemurahan hati, rasa sayang pada orang lain, simpati, dan kasihan, yang dianggap sebagai sifat-sifat terbaik, yang tertinggi dari semua sifat manusia.

Kebajikan  adalah sifat yang memiliki dua sisi, yang diutamakan di antara sifat ang harus dimiliki oleh bangsawan; diutamakan untuk orang yang berkedudukan tinggi dan bahwa belas kasihan lebih berharga dari mahkota, bahwa belas kasihan lebih tinggi dari ayunan tongkat kerajaan.

Kebajikan adalah akar, dan kekayaan merupakan hasil panennya. Selain itu tidak pernah ada kasus tentang kedaulatan yang mengalahkan kebajikan, dan orang tidak menyukai kebenaran.

Kita tahu bahwa kebajikan adalah nilai yang lembut dan penyayang layaknya seorang ibu. Jika Kejujuran dan Keadilan terkesan maskulin, Belas Kasih memiliki kelembutan dan pengaruh feminim.

Untungnya, Belas Kasih bukan hanya indah tapi juga tidak terlalu langka, karena ungkapan ini sangat benar bahwa "yang paling berani merupakan yang paling lembut, yang paling penyayang merupakan yang paling berani" sebutannya Bushi no nasake (kelembutan seorang kesatria).

Tetapi bukan berarti belas kasih seorang samurai sangat berbeda dengan belas kasih makhluk lain, tapi karena belas kasih itu berkaitan dengan keadilan dan belas kasih itu didukung dengan kekuatan untuk menyelamatkan atau membunuh.

Pada prinsipnya, para samurai juga mengatakan bahwa perasaan sedih adalah akar dari kebajikan, itu sebabnya orang yang bijak selalu memikirkan mereka yang menderita dan sedih.

Dalam pertempuran Sumano-ura (1184 M), yang merupakan salah satu kejadian paling suram dalam sejarah Jepang, seorang penunggan gkuda itu nengalahkan musuhnya dan hanya dalam sekali serangan berhasil menaklukkan lawannya. Etika perang sekarang menegaskan tidak boleh ada darah yang ditumpahkan, kecuali pihak yang lebih lemah terbukti memiliki posisi atau kemampuan yang setara dengan lawannya. Si penunggang kuda yang menang diberitahu nama orang yang dikalahkannya, tapi ia menolak mengumumkannya, helm pihak yang kalah terlepas dan saat melihat wajah seorang pemuda yang masih plos dan bersih, sang kesatria penunggang kuda mengendurkan cengkraman udanya pada leher pemuda itu. Setelah membantu pemuda  itu berdiri, dengan nada suara kebapakan sang kesatria penunggang kuda meminta pemuda itu pergi, "Pergilah, pangeran muda, ke sisi ibumu! Pedang Kumagaye tidak akan pernah ternodai oleh darahmu. Cepatlah pergi sebelum musuhmu datang!"

Pemuda itu menolak pergi dan memohon pada Kumagaye, demi kehormatan mereka berdua, untuk membunuhnya di tempat itu juga. Diatas kepala sang kesatria berkilau mata pedang yang tajam, yang sebelumnya telah banyak merenggut nyawa musuhnya, tapi hati kesatria itu tergerak; di dalam mata batinnya berkelat sosok putranya sedniri, yang di saat yang bersamaan sedang pergi berperang untuk menguji kemampuannya sebagai pemula. Tangan kokoh sang kesatria bergetar; sekali lagi ia memohon pada korbannya untuk pergi dan menyelamatkan diri.

Mengetahui bahwa semua permohonannya sia-sia dan ia juga mendengar suara langkah rekannya yang datang mendekat, sang kesatria berseru, "Jika kau tertangkap, kau mungkin akan jatuh ke tangan orang yang lebih tercela daripada aku. Oh, Tuhan yang Abadi! Terima jiwanya!"

Dan seketika itu juga pedang menebas udara, dan saat diturunkan lagi pedang itu sudah merah oleh darah kedewasaan. Saat perang berakhir, para prajurit pulang dengan membawa kemenangan, tapi sang kesatria tidak peduli sedikit pun dengan kehormatan atau kemasyhuran, ia meninggalkan karier berperangnya, mencukur rambutnya, mengenakan pakaian pendeta, mengabdikan seluruh sisa hidupnya untuk melakukan perjalan suci, tidak pernah membalikkan punggungnya ke Barat, di mana terdapat surga, dimana keselamatan datang dan ke mana matahari bergerak dengan cepat setiap hari.

No comments:

Post a Comment