Wednesday, November 9, 2016

SUDUT PANDANG KITA




Dalam sebuah serial anime Naruto, salah satu  pemeran tokoh Akatsuki, Deidara, pernah mengatakan “hidup itu adalah seni meledakkan”, sebagian besar orang juga sering mengatakan bahwa “hidup itu adalah seni memilih”. Setiap orang tentu berhak untuk berpendapat terkait kehidupan ini. Semua terserah kepada siapa yang mengatakan, apa yang dikatakan, dan kepada siapa hal tersebut ditujukkan. Asalkan selama tetap dalam koridor Hak Asasi Manusia, semua itu sah-sah saja.

Dewasa ini, hidup kita selalu diruwetkan dengan berbagai pilihan-pilihan. Baik itu pilihan-pilihan strategis, taktis, umum, sampai yang tidak penting sama sekali. Coba bayangkan, baru saja kita bangun dari tidur kita sudah dihadapkan dengan (minimal) dua pilihan, membuka handphone atau membaca doa (?). Jika kita memilih membuka handphone, akan muncul beragam pilihan lagi, akankah kita membuka Whatsapp, IG, Facebook, Message, dan lain-lainnya. Semisal kita membuka WhatsApp, akan banyak sekali menu chat yang tersedia untuk dibaca. Puluhan chat berstatus hijau bertanda belum terbaca. Dan tentu, aktivitas selanjutnya kita harus memilih, chat mana yang harus kita baca terlebih dahulu?. Dan darisitu akhirnya kita harus memilih, dan saya yakin setiap hal yang kita jatuhkan pilihan atasnya terdapat konsekuensi atasnya.

Kembali dalam pillihan, hidup kita berkelana dalam sebuah pilihan-pilihan. Dalam konteks general, sebenarnya kita hanya di hadapkan oleh dua pilihan, pilihan baik atau pilihan buruk. Masing-masing penjabaran dari kedua itu banyak dan panjang sekali, tergantung sikap kita untuk menilai dan memilah mana yang kemudian masuk ke dalam pilihan baik atau pilihan buruk. It’s up to you!

Pilihan, selain terkategorikan dalam perihal aktivitas, kata memilih juga termasuk ke dalam kata kerja. Ada satu hal yang ingin saya kaitkan dengan perihal pilihan (atau memilih) ini, yaitu tentang pandangan, atau lebih tepatnya, sudut pandang. Dalam sebuah acara pacuan kuda, setiap kuda-kuda pelari yang siap dilombakan dalam pacuan tersebut dipakaikan kacamata. Konon kabarnya, ketika seekor kuda dipakaikan kacamata tersebut, fokus berlarinya akan linier, titik fokus ke depannya begitu runcing, dan tidak akan tergubris oleh pemandangan kanan dan kirinya.

Ada sebuah kisah menarik yang saya kutip dalam salah satu karya ustad Salim. A Fillah. Kisah ini dapat menjadi sebuah tes ramalan tentang bagaimana kita memandang sebuah keadaan atau kondisi, baik diri sendiri, maupun kondisi orang lain.

Suatu sore mungkin kita menyaksikan seorang lelaki, ikut antri di warung pecel lele di daerah Monjali. Mendung bergantung sore itu, dan warna hitam yang menyeruak di barat mulai bergerak mendekat. Dia, berkaos putih yang leherannya mulai geripis, di kepalanya ada pecis putih kecil, dan celananya beberapa senti di atas mata kaki. Sandal jepit swallow yang talinya hampir putus nyangkut di antara jempol dan jari kakinya. Seperti yang lain ia juga memesan, “Pecel Lele, Mas!”

“Berapa?”, tanya Mas penjua yang asyik menguleg sambal terasi sambil sesekali meraih sothil besar untuk membalik gorengan lele di wajan raksasa. Gemuruh bunyi kompor mengharuskan orang bicara sedkit lebih keras.

“Satu. Dibungkus...” Perlahan tangannya merogoh saku celana, lalu duduk sembari menghitung uangnya. Malu-malu, tangannya dijorokkan sedikit ke bawah meja. Uang pecahan ratusan yang sudah disatukan dengan selotip bening per sepuluh keping, pas jumlahnya sesuai harga.

“Nggak makan sini aja Mas? Takut keburu hujan ya?”

“Hi hi, buat isteri..”

“Oo..”

Selesai pesanannya di bungkus, bersamaan dengan bunyi keririk yang mulai menggambar titik-titik basah di tenda terpal milik Mas Pecel Lele. Agak berlari ia keluar, tetapi melebatnya sang hujan jauh lebih cepat dari tapak-tapak kecilnya. Khawatir pecel lele untuk isteri tercinta yang hanya dibungkus kertas akan berkuah, ia selipkan masuk ke perutnya. Bungkusan itu ia rengkuh erat dengan tangan kanan, tersembunyi di balik kaos putih yang mulai transparan disapu air. Tangan kirinya ke atas, mencoba melindungi kepalanya dari terpaan ganas hujan yang tercurah memukul-mukul. Saat itu ia sadar, ia ambil pecisnya. Ia pakai juga untuk melapisi bungkusan pecel lele. Huff, lumayan aman sekarang. Tetapi 3 kilometer bukanlah jarak yang dekat untuk berjalan ditengah hujan, bukan?

Bagaimana perasaan kita ketika memandang peristiwa lelaki tersebut? Kasihan, iba, miris, sedih.

“Itukan Anda!” tegas ustad Salim menjawab. “Coba tanyakan kepada lelaki itu, kalau anda bertemu. Oh sungguh berbeda. Betapa berbunga hatinya. Dadanya dipenuhi heroisme sebagai suami baru yang penuh perjuangan untuk membelikan penyambung hayat isteri tercinta” lanjutnya.

Sidang pembaca yang terhormat, dalam hidup ini kita memang dipersilahkan untuk memilih berbagai sudut pandang, tetapi karena kita dipersilahkan bebas untuk memilih, seharusnya kita akan menjatuhkan pilihan pada sudut pandang yang jernih. Kita dapat bayangkan, bagi orang awam, kondisi laki-laki diatas adalah kondisi yang mengenaskan, tetapi kenyataan yang dialami oleh lekaki tersebut malah berkebalikannya! Heroisme menghujam dalam dadanya.

Jika ada seseorang yang merasa iba kepada saudaranya yang sedang memangkul amanah yang besar, dan terus mengatakan “kasihan ya”, boleh jadi apa yang dirasakan oleh orang yang memikul amanah itu malah sebaliknya. Paradigma kita dalam memiih sudut pandang agaknya perlu untuk di jernihkan kembali.

Beberapa hari yang lalu, ratusan ribu bahkan mencapai jutaan umat Islam melakukan aksi damai di Jakarta. Ada yang jauh-jauh datang dari pelosok daerah, belasan jam berjalanan bahkan ada yang 24 jam perjalanan. Mungkin bagi sebagian orang, melakukan hal itu termasuk hal bodoh, tetapi coba anda tanyakan kepada para peserta aksi tersebut, saya yakin jawaban mereka akan sama, mereka senang telah menjadi bagian dari para pembela Al-Quran!

Dalam hidup, mari pilahlah dengan hati-hati pillihan sudut pandang kita, boleh jadi selama ini pandangan kita terkaburkan oleh sempitnya wawasan kita, atau terbiaskan oleh ketidakpekaan nurani kita. Cobalah untuk melepas kaca mata kuda yang mungkin sempat menempel di wajah kita, mulailah untuk mengambil angle terbaik ketika kita memandang sesuatu, setelahnya kita akan melihat sisi lain yang jauh lebih mempesona dari pemahaman yang selama ini kita fahami.

No comments:

Post a Comment